Majas dalam puisi dan contohnya oleh Rachmat Djoko Pradopo

Majas dalam puisi. Salah satu unsur estetik dalam puisi adalah kata. Dalam unsur kata terdapat bahasa kiasan atau figurative language.

Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan.

Bahasa kiasan atau majas ini menghiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup.

Majas ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai satu hal yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertandingkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd, 1970:15).

Jenis-jenis majas atau bahasa kiasan tersebut adalah:
  • Perbandingan atau simile
  • Metafora
  • Perumpamaan epos
  • Personifikasi
  • Metonymy
  • Sinekdoke
  • Alegori
majas dalam puisi


Majas Perbandingan


Berikut ini merupakan penjelasan tentang majas perbandingan dalam puisi.

Perbandingan atau perumpamaan atau simile, ialah bahasa kiasan yang menyamakan suatu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, SE, dan kata-kata pembanding lainnya.

Perumpamaan atau perbandingan ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak dipergunakan dalam sajak. Namun sesungguhnya perumpamaan ini ada bermacam-macam corak pula.

Di bawah ini beberapa contoh majas perbandingan dalam puisi.

Sebagai kilat nyinar di  kalbu
Sebanyak itu curahan duka
Sering itu pilu menyayat

(Sutan takdir Alisjahbana, "bertemu", Jasin, 1963:57)

Tersenyum beta laksana arca (Jassin, 1963: 67)

Amir Hamzah:

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Suruh bandara di balik tirai

("Padamu jua", 1959: 5)

J.E Tatengkeng:

Perasaan seni

Bagaikan banjir gulung-gemulung,
Bagaikan topan seruh-menderuh,
    Demikian Rasa
    Datang semasa,
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung,
Memenuhi sukma, menawan tubuh.

Serasa manis sejuknya embun,
Selagu merdu dersiknya angin,
    Demikian Rasa
    Datang sesama,
Membisik, mengajak, aku berpantun,
Mendayung jiwa ke tempat dingin.

Jika Kau datang sekuat raksasa,
Atau Kau menjelma secantik juita,
    Kusedia hati
    Akan berbakti,
Dalam tubuh Kau berkuasa,
Dalam dada Kau bertakhta!

Charil Anwar:

Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal dicerlang caya matamu
Heran ! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
'Ku kayak tidak tahu saja.
(“Lagu Siul”, 1959:25)

Kutahu kau  bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

(“Penerimaan”, 1959:36)

W.S Rendra

Rick dari Corona
...
Betsy-ku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaikan karet busa.
Rambutnya mewah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
Dan kakinya sempurna.
Singset dan licin
bagaikan ikan salmon.

(1979:18-21)

Subagio Sastrowardojo:

..
Tetapi isteriku terus berbiak
seperti rumput di pekarangan mereka
seperti lumut di tembok mereka
seperti cendawan di roti mereka.
Sebab bumi hitam milik kami
Tambang intan milik kami.
Gunung natal milik kami.
(1975:27)


b. Metafora

Majas metafora merupakan salah satu majas yang sering digunakan dalam puisi.

Majas metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978:317)

Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd,1970:15)

Misalnya: bumi ini perempuan jalang.
(Subagoo, "dewa telah mati", 1975:9)

Tuhan adalah warga negara yang paling modern.
(Subagio, "katekisasi", 1975: 29)

Surga hanya permainan sebentar.
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.

(Chairil Anwar, "Tuti Artic.", 1959:41)

Dalam sajak Subagio, bumi dipersamakan dengan perempuan jalang, dan Tuhan dipersamakan dengan warga negara yang paling modern.

Dalam sajak Chairil Anwar tersebut anak emas harga dipersamakan dengan permainan sebentar tanah sedangkan cinta dipersamakan dengan bahaya.

Metafora terdiri dari dua cermin atau dua bagian, yaitu term pokok dan term kedua.

 Term pokok  disebut juga tenor. Term kedua disebut juga dengan vehicle.

Tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan kedua atau vehicle adalah hal yang untuk membandingkan. Misalnya "bumi" adalah perempuan jalang: "bumi" adalah term pokok, sedang "perempuan jalang tak dapat adalah vehicle.

Seringkali penyair langsung menyebutkan vehicle tanpa menyebutkan tenor. Metafora semacam ini disebut metafora implisit. Misalnya:

Hidup ini mengikat dan mengurung
(Subagyo, "sajak", 1975: 15)

Hidup diumpamakan sebagai tali yang mengikat dan juga sebagai kurungan yang mengurung. Disitu yang disebutkan bukan pembandingnya, tetapi sifat pembandingnya.

Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
("Dewa telah mati", 1975: 9)

"Rawa-rawa macam" adalah kiasan kehidupan yang kotor, yang mesum, kehidupan yang penuh pencabulan, merupakan vehicle atau term kedua.

Di samping itu ada metafora yang disebut metafora mati atau dead metaphor, yaitu metafora yang sudah kering sehingga orang sudah lupa bahwa itu metafora, misalnya kaki gunung, lengan kursi, dan sebagainya.

Di bawah ini beberapa contoh majas metafora dalam puisi.

Amir Hamzah:
ku pangku di lengan lagu
ku daduhkan di selendang dendang.
(“barangkali”, 1959:6)

Bangkit gunung
buka mata mutiaramu
sentuh kecapi firdausi
dengan jarimu menirus halus.
(“barangkali”, 1959:6)

Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang.
(“Sebab Dikau:, 1959:11)

c. Perumpamaan Epos

Perumpamaan atau perbandingan epos ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase Frase yang berturut-turut. Kadang-kadang lanjutan ini sangat panjang. Perbandingan evos ini ada bermacam-macam variasi juga.

Contoh majas perumpamaan epos dalam puisi adalah sebagai berikut.

Rustam Effendi:

Di tengah sunyi menderu rinduku,
seperti topan. Meranggutkan dahan,
mencabutkan akar, meranggutkan kembang kalbuku.
Mahatmanto:

Kepada Pujangga Dunia

Seperti burung laut, dengan liurnya
dibuatnya sarang permai
di gua, di tubir pantai
tempat diam terletak telurnya
tempat pecah merekahnya, melahirkan isinya
tempat anaknya menciap-ciap: berharap,
datang orang mengambil sarang,
untuk obat, khasiat mereka.

Demikianlah, Pujangga Dunia,
engkau, dengan perkataanmu,
kau gubah ciptaan indah,
tempat tersemat perasaan hatimu
membuat, membersit, mekar kembang
diterima orang, dirangkum, dipegang
untuk pedoman, teladan mereka.


d. Allegori

Alegori adalah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengingatkan hal lain atau kejadian lain. Alegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga baru.

namun pada waktu sekarang banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern yang kemudian. alegori ini sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. misalnya "Menuju ke Laut terdapat, saja Sutan Takdir Alisjahbana. sajak itu melambangkan angkatan baru yang berjuang ke arah kemajuan. angkatan baru ini dikiaskan sebagai air danau yang menuju ke laut dengan melalui rintangan-rintangan.

laut penuh gelombang, dan hidup yang penuh dinamika perjuangan, penuh pergolakan. jadi, sajak tersebut mengingatkan angkatan muda yang penuh semangat menuju kehidupan baru yang dinamis, meningkatkan adat yang statis, kehidupan lama yang beku, tidak mengalir.

Menuju ke Laut (Sutan Takdir Alisjahbana)

Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.

Ombak riak berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit.
Pasir rata berulang di kecup,
tebing curam ditentang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.

Sejak itu jiwa gelisah
Selalu berjuang tiada reda.
Ketenagan lama serasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.

Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya.
Gegap gempita suara mengerang,
Dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti,
pekik dan tempik sambut menyambut.

Tetapi betapa sukanya jalan,
bedana terhembas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut, namun kembali tiada ingin
namun kembali diada angin,
ketenangan lama tiada diratap.

Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.

Sajak Sanusi Pane “Teratai” menyimbolkan Ki Hajar Dewantara yang menjaga bumi Indonesia dengan ajarannya yang bersifat kebangsaan ,dengan semangat keindonesiaan asli. 

TERATAI
Kepada Ki Hajar Dewantara

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai:
Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daun berseri Laksmi mengarang:
Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.

Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun Indonesia,
Biar sedikit penjaga taman.

Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat,
Engkau pun turut menjaga Zaman.


e. Personifikasi

Majas personifikasi mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini banyak dipergunakan dari dahulu hingga sekarang.

Personifikasi ini membuat hidup lukisan, di samping itu memberi kejelasan berperan, memberikan bayangan tangan yang konkret.

Personifikasi pun ada bermacam-macam variasi juga, di bawah ini beberapa contoh majas personifikasi dalam puisi.

Amir Hamzah:
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu

Charil Anwar:
Sajak Putih

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku


f. Metonimia

Bahasa kiasan nya lebih jarang dijumpai pemakainya dibanding metafora, perbandingan, dan personifikasi ialah metonimia dan sinekdok. 

Metonimia ini dalam bahasa Indonesia yang disebut dengan kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat tepat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd, 1970:21). 

Contoh majas metonimia dalam puisi.

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli yang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Serta anak-anak berenang tertawa tak berdosa
Di bawah bayangan samar istana kejang
Layung-layung senja melambung hilang
Dalam hitam malam menjulur tergesa

Klakson dan lonceng dapat menggantikan orang-orang atau partai-partai yang bersaing adu keras suaranya. Sungai kesayangan menggantikan sungai ciliwung. Istana mengganti kaum kaya yang memiliki rumah-rumah seperti istana. Kota kekasih adalah Jakarta. 


g. Sinekdok

Sinekdoke adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd, 1970:22)

Sinekdoke ada dua macam:
Pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan
Totem pro parte: keseluruhan untuk sebagian

Pars pro toto ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Toto Sudarto Bachtiar. 

Kepada Si Miskin

Terasa aneh dan aneh
Sepasang-sepasang mata memandangku
Menimpakan dosa
Terus terderitakanlah pandang begini?

Rumah-rumah terlalu rendah
Dan tanganku hanya bisa menggapai
Di antara ruang tak berudara
Di mana keluh mengapung-apung

Takut mengguratkan fajar yang salah
Dan perjalanan masih jauh
Tapi antara kami
Tak ada yang memisahkan lagi

Demikianlah contoh dari penggunaan majas atau kata kiasan di dalam puisi Indonesia. 

Oleh Rachmat Djoko Pradopo : analisis puisi strata norma.


No Comment
Add Comment
comment url