Analisis puisi berdasarkan strata norma - Rachmat Djoko Pradopo

 Analisis puisi berdasarkan strata norma.  Puisi  (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Analisis yang bersifat dikotomis, yaitu pembagian 2 bentuk dan isi belum dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak memuaskan (Wellek dan Warren, 1968:140)

Untuk menganalisis puisi setepat-tepatnya perlulah diketahui apakah sesungguhnya wujud puisi itu. Dikemukakan oleh Wellek (1968:150) bahwa puisi itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman.

Setiap pengalaman individual itu sebenarnya hanya sebagian saja dapat melaksanakan puisi. Karena itu, puisi atau sajak sesungguhnya harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Pengertian norma itu menurut Rene wellek (1968: 150-151) jangan dikacaukan dengan norma-norma klasik, etika, ataupun politik.

strata norma



Norma itu harus dipahami sebagai norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan.

Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya.

Leni welek mengemukakan analisis roman ingarden seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya das literarichie Kunstwerk (1931) iya menganalisis norma-norma itu sebagai berikut.

Bunyi

Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.

Tetapi, suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arah titik-titik dengan adanya satuan-satuan suara itu orang menangkap artinya. Maka, lapis bunyi itu menjadi dasar timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti.

Arti

Lapis arti atau unit of mining berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frasa dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak.

Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan.

Roman ingarden masih menambahkan dua lapis normal lagi yang sesungguhnya menurut wellek dapat dimasukkan dalam lapis yang ketiga. Lapis tersebut sebagai berikut.

a. Lapis Dunia

Lapis "dunia" yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak pernah dinyatakan tanah tetapi terkandung di dalamnya (implied).

Sebuah peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan "terdengar" atau "terlihat", bahkan peristiwa yang sama, misalnya suara jederan pintu, dapat memperlihatkan aspek "keluar" atau "dalam" watak. 

Misalnya pintu berbunyi halus dapat memberi sugesti wanita atau watak dalam si pembuka itu hati-hati titik keadaan sebuah kamar yang terlihat dapat memberikan sugesti watak orang yang tinggal di dalamnya.

b. Lapis Metafisis

Lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis yang sublim yang tragis mengerikan atau menakutkan, dan yang suci, dengan sifat-sifat ini seni dapat memberikan renungan atau kontemplasi kepada pembaca. Akan tetapi, tidak setiap karya sastra didalamnya terdapat lapis metafisis seperti itu.

Contoh Analisis Stratra Norma Puisi Chariril Anwar

Untuk lebih menjelaskan analisis strata norma tersebut dianalisis sajak Chairil Anwar, 1959:44, sebagai berikut.

Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh dipulau, 
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar, di leherku kalungkan oleh-oleh buat si pacar,
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidak kan sampai padanya.

Di air yang terang, di angin mendayu, 
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja."

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manis ku jauh di pulau
Kalau ku mati, dia mati iseng sendiri. 


Lapis suara

Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan dan berangkat yang merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat.

Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, disini bahasa Indonesia.

Hanya saja, dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi bunyi atau pola bunyi yang bersifat "istimewa" atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni.

Misalnya dalam bait pertama baris pertama ada asonansi a dan u, di baris kedua ada aliterasi s yang berturut-turut: gadis manis,  sekarang iseng sendiri.

Begitu juga dalam bait kedua ada asonansi a: melancar -memancar-sipacar-terang-terasa-pada nya. 

Aliterasi l dan r : perahu melancar, bulan memancar, laut terang, tapi terasa.

Pola sajak akhir bait kedua, tiga, empat: aa-bb yang saling dipertentangkan. Memancar - si pacar dipertentangkan dengan terasa-adanya; kutempuh-merapuh dipertentangkan dengan dulu-cintaku.

Pada umumnya dalam sajak itu bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat a dan u seperti kelihatan dalam bait ke-3 dan ke-4 yang dipergunakan sebagai lambang rasa.

Lapis arti (units of meaning)

Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.

Dalam bait pertama, "cintaku jauh dipulau" berarti: kekasihku berada di pulau yang jauh.

"Gadis manis, sekarang iseng sendiri": kekasih si aku masih gadis dan manis. Karena sih aku tidak ada, dia berbuat iseng menghabiskan waktu sendirian. Dapat juga berarti bahwa si gadis dengan sangat menantikan si aku.

Dalam bait kedua; untuk menuju kekasihnya itu si aku naik perahu dengan lancar pada waktu terang bulan dan ia membawa buah tangan untuk pacarnya (oleh-oleh). Angin pun membantu (angin buritan), laut terang: tidak berkabut. Meskipun demikian, si aku merasa tidak akan sampai kepada pacarnya.

Bait ke-3.2 di air laut yang terang dan di angin yang bertiup kencang itu, menurut perasaannya secara sepenuhnya (di perasaan penghabisan) semuanya serba cepat, melaju tanpa halangan (baris ke-1 dan 2), namun ajal (kematian) telah memberi isyarat akan mengakhiri hidup si aku.

Bait  keempat menunjukkan bahwa si aku putus asa. Meskipun ia sudah bertahun-tahun berlayar sehingga perahu yang dinaiki akan rapuh kena air garam (baris ke-1 dan 2), namun kematian telah menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelumnya sempat bertemu, bercintaan dengan kekasihnya.

Bait kelima. Karena itu, kekasih si aku yang berada di pulau yang jauh itu akan sia-sia menanti si aku dan mati menghabiskan waktu sendiri.

Sesungguhnya sajak itu berupa kiasan. Pacar si aku, gadis manis itu, adalah kiasan cita-cita sih aku yang menarik, tetapi sukar dicapai, harus melalui laut yang melambangkan perjuangan yang penuh rintangan, bahkan menantang maut. Karena itu, sebelum si aku mencapai cita-citanya, ia telah meninggal.

Lapis ketiga

Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ke-3, berupa objek objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang.

Objek-objek yang dikemukakan: cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal.

Pelaku atau tokoh: si aku.

Latar waktu: waktu malam terang bulan.

Latar tempat: laut yang terang atau tidak berkabut. Berangin kencang.

Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya atau alur; seperti berikut.

Gadis manis, kekasih si aku berada sendirian di sebuah pulau yang jauh. Si aku ingin menemuinya, ia naik perahu dengan laju pada waktu malam terang bulan. Laut tak berkabut, angin buritan meniup dengan kencang. Akan tetapi, dalam keadaan serba lancar itu, si aku merasa bahwa ia tidak akan sampai pada kekasihnya karena maut yang lebih dahulu menghadang. Bahkan setelah bertahun-tahun berlayar hingga perahu yang dinaiki pun akan rapuh kena air laut bertahun-tahun. Karena itu, kalau si aku tidak sampai ke tempat kekasihnya karena sudah meninggal sebelum sampai, maka gadis kekasihnya akan mati sia-sia menghabis habiskan waktu sendirian.

Lapis keempat


Lapis "dunia" yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak sebagai berikut.

Dipandang dari sudut pandang tertentu kekasih siaku itu menarik, kelihatan dari kata kata: gadis manis dalam bait pertama.

Pada baris kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan suasana yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang terang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisahan si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia.

Hadits ke-3, baris ke-1 dan 2 menyatakan segalanya berjalan dengan baik, perahu berlayar dengan laju. Baris ketiga dan empat menyatakan si aku telah dihadang kematiannya.

Bait keempat dan kelima menyatakan kegagalan siap untuk mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun segala daya upaya telah dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan perahu pun hampir hancur: kan merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya (gadisnya) si aku sudah mati.

Lapis kelima

Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini lapis itu berupa ketragisan hidup manusia; yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan, disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar, tetapi seringkali manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.

Analisis strata norma Roman Ingarden itu dapat dikatakan hanya analisis puisi secara formal saja, menganalisis fenomena-fenomena saja.

Roman ingarden tidak mengemukakan nilai seni puisi yang dianalisis. Dengan hal yang demikian ini, analisis roman ingarden ini dikritik Rene wellek, 1968: 156, bahwa analisisnya yang maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian.

Disebabkan bahwa puisi itu merupakan karya imajinatif dan medium bahasa yang unsur seni estetiknya dominan (Wellek, 1968:25). Orang tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian. Analisis yang tanpa menghubungkan dengan penilaian ini merupakan kesalahan analisis fenomenologis, begitu kata Wellek (1968:156)

Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur atau fenomena karya sastra yang ada. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Namun analisis yang hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra ( T.S Elliot via Sansom, 1960: 155).

Karena itu, analisis strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik, karya sastra yang sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena atau unsur karya sastra itu mempunyai makna atau arti. Disamping itu, juga analisis ditingkatkan kepada fungsi estetis setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra.

Dengan analisis strata norma dan semiotik itu, maka karya sastra atau puisi akan dapat didapatkan makna sepenuhnya dan dapat dipahami sebagai karya seni yang bernilai puitis atau estetis, yaitu dengan mengingat fungsi estetis setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra (puisi)

Lebih lanjut analisis strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetis yaitu sebagai berikut.

Bunyi

Orkestrasi bunyi: efoni dan kakafoni; kombinasi vokal dan konsonan tertentu: aliterasi dan asonansi.

Simbol bunyi: onomatope, kiasan suara, lambang rasa.

Sajak: awal, tengah, dalam, dan akhir.

Termasuk pembicaraan bunyi juga adalah irama: metrum dan ritme.

Kata

Pembicaraan kata meliputi: kosa kata, unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif dan konotatif. Pilihan kata atau diksi; bahasa kiasan; citraan; sarana retorika; dan gaya kalimat, serta gaya sajak.

Itulah contoh dari analisis puisi berdasarkan strata norma dari Rachmat Djoko Pradopo via Pengkajian Puisi. 




No Comment
Add Comment
comment url