Gaya bahasa dan sarana retorika dalam puisi - Bahasa Indonesia

Cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud maksud lain menimbulkan gaya bahasa.

Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa?

Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. (Slamet Mulyana)

Fungsi dari gaya bahasa ialah menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa menimbulkan reaksi tertentu tanda panah untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.

Setiap penyair, penulis, ataupun pengarang memiliki gaya bahasa yang berbeda-beda. Latar belakang mereka menjadi penyebabnya. Merekapun memiliki kegemaran masing-masing. Yang dengan itu timbulnya gaya bahasa tertentu dalam diri mereka.

Gaya bahasa merupakan ciri khas seorang pengarang.

Gaya bahasa juga merupakan idiosinkrasi atau keistimewaan seorang penulis, demikian yang dikatakan oleh Middelton Mury. 

Meskipun pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan. Jenis-jenis bentuk ini biasa disebut sarana retorika.

gaya bahasa



Pengertian

Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd, 1970:22).

Jangan moeslihat pikiran tersebut, penyair dapat menarik perhatian, pikiran, sehingga pembaca mau memikirkan apa yang dikemukakan oleh penyair.

Sarana retorika ini akan menimbulkan efek berupa ketegangan puitis.

Sarana retorika memang bermacam-macam. Namun pada umumnya setiap periode atau Angkatan sastra memiliki jenis sarana retorika yang digemari.

Bahkan setiap penyair biasanya memiliki sarana retorika tersendiri. Kenyamanan dalam memilih sarana retorika mungkin salah satu alasan mengapa mereka menggunakan sarana retorika tersebut dalam sajak-sajaknya.

Corak Sarana Retorika


Corak-corak sarana retorika tiap periode itu ditentukan sesuai dengan gaya sajaknya, aliran, paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya.

Sarana retorika pujangga baru


Pada periode pujangga baru, sarana retorika mementingkan keseimbangan yang simetris dan juga aliran romantik yang dipenuhi dengan curahan perasaan.

Oleh sebab itu sarana retorika yang seringkali digunakan oleh pujangga baru adalah:
  • Keseimbangan
  • Pleonasme
  • Tautologi
  • Paralelisme
  • Retorik retentions
  • Enumerasi

Selain dari sarana retorika di atas, sangat jarang sekali digunakan oleh para penyair pujangga baru. Misalnya sarana retorika hiperbola, kiasmus, klimaks, paradoks, atau pertanyaan retorik.

Sarana retorika angkatan 45


Pada periode angkatan 45, retorika yang seringkali digunakan adalah realisme dan ekspresionisme.

Tujuan dari penggunaan sarana record tersebut adalah intensitas dan ekspresivitas.

Oleh sebab itu sarana retorika yang digunakan adalah sebagai berikut:
  • Hiperbola
  • Tautologi
  • Litotes
  • Enumerasi atau penjumlahan
  • Paradoks
  • Kiasmus

Pada saja yang berisikan pemikiran seringkali digunakan retorika kiasmus dan paradoks.

Sedangkan sajak yang bergaya mantra, seperti yang yang terdapat pada sajak Sutardji calzoum Bachri, seringkali menggunakan retorika repetisi.

Akan tetapi penyair kadang kala tidak menggunakan satu sarana retorika saja.

Kadangkala mereka mengkoordinasikan berbagai retorika tersebut. Misalnya pada puisi yang berjudul "dalam gelombang" karya s t. Takdir Alisjahbana.

Dalam puisi "dalam gelombang" Sutan takdir Alisjahbana mengkombinasikan kan berbagai sarana retorika seperti pleonasme, paralelisme ,  penjumlahan, keseimbangan.

Dalam Gelombang

Alun bergulung naik meninggi,
Turun melembah jauh ke bawah,
Lidah ombak menyerak buih,
Surut balik di air gemuruh.

Kami mengalun pada samud'ra-Mu,
Bersorak gembira tinggi membukit,
Sedih mengaduh jatuh ke bawah,
Silih berganti tiada berhenti.

Di dalam senang pada dalam sedih,
Waktu bah'gia waktu merana,
Masa tertawa masa kecewa,
Karni berbuai pada nafasmu,
Tiada kuasa tiada berdaya,
Turun naik dalam 'rama-Mu.

St. Takdir Alisjahbana (1984:4)


Pembahasan

Dalam sajak tersebut tampak segalanya selalu berimbang dan simetris, berupa persamaan atau pertentangan: silih berganti-tiada berhenti; suka-duka; bahagia-merana; tertawa-kecewa.

Kita melihat adanya keseimbangan dalam puisi tersebut. Keseimbangan tersebut disebabkan adanya penggunaan sarana retorika berupa tautologi, pleonasme, perseimbangan, maupun paralelisme.

Jenis-jenis sarana retorika


Banyak sekali jenis-jenis sarana retorika diantaranya:
  • Tautologi
  • Pleonasme
  • Enumerasi
  • Paralelisme
  • Retorik retisense
  • Hiperbola
  • Paradoks

Berikut ini penjelasan dan contoh dari berbagai sarana retorika dalam puisi tersebut di atas.

Tautologi

Tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.

Dalam tautologi, penyair seringkali menggunakan kata-kata yang hampir mirip maknanya. Sebagai contoh: silih berganti tiada henti; tiada kuasa tiada berdaya.

Puisi di atas menggunakan pengulangan makna yang sama. Dengan adanya pengulangan tersebut, maka pembaca akan mendapatkan efek yang lebih dalam dari yang dimaksudkan penyair.

Kita mungkin bisa menggunakan kalimat yang menggunakan tautologi seperti berikut ini.

Tak melihat semuanya gelap
Aku berlari, aku mengejar
Hatiku lemah, kalbu ku rapuh
Aku menyayanginya, selalu mencintainya

Pleonasme

Pleonasme adalah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama.

Tujuan penggunaan pleonasme adalah agar sifat yang dimaksudkan itu lebih jelas bagi pembaca maupun pendengar.

Contoh pleonasme dalam puisi:

Dia naik meninggi
Turun menambah jauh ke bawah
Jatuh ke bawah
Tinggi membukit
Diam membisu
Panas membakar
Sunyi mencekam
Bara yang membakar

Itulah beberapa contoh pleonasme yang bisa kita gunakan dalam bait-bait puisi.

Enumerasi

Enumerasi adalah sarana retorika yang berupa pemecahan sesuatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Slamet Mulyana)

Dengan adanya enumerasi ini, maka penyair dapat memberikan intensitas yang tinggi pada pernyataan maupun keadaan.

Contoh retorika enumerasi adalah sebagai berikut.

Di dalam suka di dalam duka
Waktu bahagia waktu merana,
Masa tertawa masa kecewa, 
kami berbuai dalam nafasmu.


Contoh bait puisi di atas menggambarkan adanya intensitas. Disitu keadaan itu: dalam keadaan apa pun kami berbuih dalam nafasmu. 

Dengan adanya pemecahan menjadi beberapa bagian, maka pembaca akan merasakan perincian. Dengan begitu penyair dapat memberikan gambaran yang mudah ditangkap oleh pembaca maupun pendengar.

Contoh lain dari sarana retorika enumerasi terdapat dalam puisi karya Sutan takdir Alisjahbana yang berjudul "segala, segala".

SEGALA, SEGALA

Ani, ya Aniku Ani,
Mengapa kamas engkau tinggalkan?
Lengang sepi rasanya rumah,
Lapang meruang tiada tentu.

Buka lemari pakaian berkata,
Di tempat tidur engkau berbaring,
Di atas kursi engkau duduk,
Pergi ke dapur engkau sibuk.

Segala kulihat segala membayang,
Segala kupegang segala mengenang

Sekalian barang rasa mengingat,
Sebanyak itu cita melenyap.

Pilu sedih menyayat di kalbu,
Pelbagai rasa datang merusak.

20 April 1935

Perhatikan pada bait yang kedua. Terdapat sarana retorika enumerasi dimanapun aku berada selalu melihat bayangmu. Sarana ini dikombinasi dengan paralelisme dalam bait ketiga.

Paralelisme

Paralelisme adalah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa.

Menurut Slamet Mulyana kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului.

Contoh paralelisme dalam puisi Sutan takdir Alisjahbana.

Segala kulihat segala membayang,
Segala kupegang segala mengenang.

Retorik retisense

Retorik retisense adalah retorika yang menggunakan tanda titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan.

Di dalam buku pengkajian puisi karya Rachmat Djoko pradopo, beliau mengungkapkan bahwa sarana ini seringkali digunakan oleh penyair romantik, dan seringkali digunakan kan dalam sajak romantis remaja.

Contoh retorik retisense

Kupandang pandang melompat-lompat,
Di padang rumput;
Kulihat daun bergerak cepat …
Oh, aku suka sebut…

Apalah warta mainan garap,
Dan bisikan angin sayuk gelap;
Tapi Sukma masih ngeram
Dan diam di dalam…

Oh, jangan kau paksa
Melahirkan rasa!
Biarlah aku menderita
Menanti ketika

(J.E. Tatengkeng "kusuka katakan", 1974: 19)

Hiperbola

Sajak-sajak angkatan 45 banyak mempergunakan sarana retorika hiperbola. 

Yang paling sering kita temukan adalah pada sajak-sajak Chairil Anwar.

Misalnya sajak-sajak beliau yang berjudul:
Kepada peminta-minta
Pusat
Kepada orang mati

Sajak-sajak itu banyak sekali menggunakan retorika hiperbola.

Mani perhatikan contoh sajak yang menggunakan retorika hiperbola.

KEPADA PEMINTA-MINTA

Baik-baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua dimuka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah
Mengarang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaung ditelingaku.

Baik, baik, aku akan menghadap dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Dalam sajak tersebut retorika hiperbola terlihat sangat dominan.

Ya itu retorika yang melebih-lebihkan sesuatu hal atau keadaan.

Dengan retorika hiperbola penyair bermaksud untuk menyangatkan, menghasilkan intensitas yang tinggi,, dan ekspresivitas.

Misalnya dalam kalimat, jangan tentang lagi aku/nanti darahku jadi beku.

Pada puisi di atas retorika hiperbola dikombinasikan dengan enumerasi.

Hal tersebut dimaksudkan untuk mengintensifkan pernyataan. Dengan begitu tercapailah penggambaran yang mengerikan dan menakutkan dan perasaan dosa itu sangat terasa.

Hal lainnya yang membuat intensitas semakin tinggi ialah dengan pengulangan kata kerja. Yaitu kata-kata: mengganggu-menghempas - mengaum.

Paradoks

Sarana retorika lainnya adalah paradoks, oksimoron, dan kiasmus.

Penyakit yang menggunakan rata-rata tersebut pada umumnya memiliki tema tentang pemikiran atau pemikiran yang bersifat filosofis.

Salah satu pujangga yang seringkali menggunakan retorika paradoks, oksimoron, dan kiasmus adalah Toto Sudarto Bachtiar.

Berikut ini contoh retorika paradoks dalam puisi karya Toto Sudarto Bachtiar.

PUSAT

Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara.

Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan Padang senja
Hidupku dalam tiupan usia

Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan jari-jari ini
Kata-kata yang bersayap bisa menari
Kata-kata yang berjuang tak mau mati

(Etsa, 1957:7)

KEPADA ORANG MATI

Kalau aku kau maafkan, karena maaf baik,
Kau tak pernah mengerti dirimu
Kalau kau ku maafkan, karena maaf baik,
Kau tak mengerti dirimu

Begitu banyak maaf, buat begitu banyak dosa
Begitu banyak dosa, buat begitu banyak maaf
Hanya tersedia buat daerah mati
Sampah awal, tanpa kemauan baik?

Tapi kotak kumaafkan juga, sangat sayang
Tanpa mengerti diriku
Tanpa mengerti dirimu
Sedang aku tak mau mati muda sekarang

(Etsa,1957:32)

Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir dan dirasakan.

seperti: hidup yang terbaring mati, ini sebuah kiasan yang artinya hidup yang tanpa ada pergerakan tanah, tanpa ada perubahan kearah yang baik.

Paradoks yang mempergunakan penjajaran kata yang berlawanan itu: hidup - mati disebut oksimoron.

Misalnya dalam kalimat
Musim yang mengandung luka

Kalimat tersebut mengandung paradoks karena musim bersuasana menyenangkan sedangkan luka bersuasana menyedihkan.

Begitu juga dalam kalimat "kalau dimaafkan menjadi tak tahu diri" mengandung pernyataan yang paradoks. 

Retorika paradoks bisa juga dikombinasikan dengan kiasmus.

Kiasmus adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang Dani salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya.

Suatu contoh: diri mengeras dalam kehidupan-kehidupan mengeras dalam diri.

Pada sajak di atas kita melihat terdapat banyak kalimat yang posisinya dibalik. 

Hal tersebut dimaksudkan untuk mengintensifkan pernyataan. Adanya pengulangan tersebut juga menunjukkan adanya paralelisme.


Demikianlah pemaparan tentang gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan para penyair dalam membuat sajak maupun puisi.

No Comment
Add Comment
comment url